Syekh Abdul Qodir al Jaelani (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al Jaelani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani atau juga al Jiliydan. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.Syekh Abdul Qadir Jaelani
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena
tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu
dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al
Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti
Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al
Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu
menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para
ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun
sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan
sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia
mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil
memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak
pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di
sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al
Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil
Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.
Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan
sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh
Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin
Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul
Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian
terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya
untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam
shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan
mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki
karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas
nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan
Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui
dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al
Jaelani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh
para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan
karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy
Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al
Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan
keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid
kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia
dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani.
Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
“Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia
dengar”, demikian kata Imam Ibnu Rajab. “Aku telah melihat sebagian
kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya,
sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali
kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini.
Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak
dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal,
kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak
berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah
mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh
Abdul Qadir al Jailani rahimahullah.”
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama
lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin
Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada
pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo.
Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah,
biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri
tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab
ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul
Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, “Syeikh Abdul Qadir al Jailani
Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid,
sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan
sunnah.”Karya karyanya [1] :
1. Tafsir Al Jilani
2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
3. Futuhul Ghaib.
4. Al-Fath ar-Rabbani
5. Jala’ al-Khawathir
6. Sirr al-Asrar
7. Asror Al Asror
8. Malfuzhat
9. Khamsata “Asyara Maktuban
10. Ar Rasael
11. Ad Diwaan
12. Sholawat wal Aurod
13. Yawaqitul Hikam
14. Jalaa al khotir
15. Amrul muhkam
16. Usul as Sabaa
17. Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Beberapa Ajaran Beliau
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab
ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan
perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk
Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah
bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga
memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki
kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap
sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas
kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya
merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi
juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang
tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul
Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul
Qadir Al Jaelani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat
kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang
Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah
lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok
Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya
dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul
Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni,
tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama
beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani pernah berkata
kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam
dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai
aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku
tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang
mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku
ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di
masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan
ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di
malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat
tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah
mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai
kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu
hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian, Syaikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah SAW
sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, “anakku, mengapa engkau tidak
berbicara?”. Aku menjawab, “Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini
berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?”. Ia berkata, “buka
mulutmu”. Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata,
”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan
yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati
jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar.
Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, “buka mulutmu”. Ia
lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya
mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah
SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat
beliau kepada RasuluLlah SAW. Kemudian, aku berkata, “Pikiran, sang
penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati,
mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian
dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk
diangkat”. Ia kemudian menyitir, “Dan untuk wanita seperti Laila,
seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan
sebagai sesuatu yang manis.”
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir al
Jaelani berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di
pengasingan diri, “kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang”. Aku
pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak
aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka”.
“Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan manfaat
dari keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan
mendapatkan keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku pun menbuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak
ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang
meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke
Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang
benderang mendatangi aku. “Apa ini dan ada apa?” tanyaku. “Rasulullah
SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat” jawab sebuah suara.
Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi
spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat RasuLullah
SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, “Wahai Abdul
Qadir”. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku
melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7
kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. “Mengapa
engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?” tanyaku
kepadanya. “Sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah SAW” jawab beliau.
Rasulullah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. “apa
ini?” tanyaku. “Ini” jawab Rasulullah, “adalah jubah kewalianmu dan
dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang
kewalian”. Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Khidir as. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan
kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang
akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir,
apabila engkau berkata kepadaku, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”, aku
akan berkata kepadamu, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”. “Wahai
Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan
lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana,
busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari
ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara
dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum
Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut
beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas al Khidir as lewat dan aku pun
berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir al Jilli berkata, ”Seorang
Syaikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila
12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar
(menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada
waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang
dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia
adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu
hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut
kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa
diawasi oleh Allah.
Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh al Junaid mengajarkan
standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syaikh.
Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia
tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syaikh ketika
mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan
untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi
muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang
murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si
murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan
kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu
memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya
dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid
bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh
memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber
dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para
sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan
silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai
Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah,
paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulullah
berkata, “Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah
dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian, Ali ra. kembali berkata,
“Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir”.
Rasulullah berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan
terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan
‘Allah’, ‘Allah’. “Bagaimana aku berzikir?” tanya Ali. Rasulullah
bersabda, “Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya
sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya
sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulullah berkata, “Laa ilaaha
illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras.
Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang
Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah.
Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada
seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada
Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang
berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan
engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Lain-Lain
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang
ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka
itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau
meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi
wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara
para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh
manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka,
berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah,
kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan
orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan
ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini
adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk
ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang
mahluknya berdo’a kepada selain Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid
itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun
di dalamnya disamping (menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )”
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan
para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang
telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa
memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan
yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua
madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun
Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di
Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi
besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di
Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593
H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga
dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar